Puisi - November
NOVEMBER : Dji Suk
Kata yang ganjil.
Saat itu, aku sering mengigau dalam tidurku.
Kata ibuku, aku sering menyebut-nyebut kata yang ganjil. Seperti Beruang, hidup mahasiswa, lalu Beruang lagi.
Saat kejadian ganjil itu terjadi lagi, dan terus berulang.
Ibuku mulai cemas sambil meraba hatinya.
Ibuku pun mulai memandangiku dengan sangat dalam.
Mungkin, naluri seorang ibu, sudah seperti itu sejak awal penciptaannya.
selalu cemas, setiap anaknya mengalami sesuatu seperti, anaknya jarang makan menurutnya.
Dia menerawan tubuh anaknya sambil menduga dalamnya.
Lalu berkata, "tubuhmu ringkih seperti busung lapar, apakah kau jarang makan nak?"
Bukan hanya itu.
Ibu juga seringkali mencemaskan hal-hal yang tak perlu.
Seperti, ketika anaknya sedang mulai terserang demam cinta.
Tapi, terkhusus ibuku tidak!
Mungkin ibu cemas, karena aku sering mengigaukan kata Beruang dan selanjutnya hidup mahasiswa.
Sejujurnya, aku heran saja, mengapa Seorang ibu punya perasaan yang begitu peka.
Lalu, bagaimana denganmu?
Apakah kau sama dengan ibuku?
Yang punya perasaan peka paling manja.
November.
Angin barat sudah mulai bersahut-sahutan.
Ia selalu datang bergandeng hujan, mungkin mereka sepasang kekasih.
Menampar-nampar wajahku, dan menyiramiku dengan kekasihnya yang basah.
Aku hampir lupa, mengapa di saat aku sering mengigau tentang kata Beruang, hidup mahasiswa, aku tak pernah benar-benar serius menjawabnya, agar kecemasan dada ibuku sedikit meredah.
Tetapi sungguh, aku tak pernah lupa.
Kalau dulu, aku sering memanggilmu dengan nama Beruang, seperti Rasulullah menyebut Aisyah dengan nama Khumairah.
Aku juga sudah ingat, kalau nama beruang itu berasal dari kesalahanku menyebut nama seekor hewan lucu yang menggemaskan.
Panda. Ya, aku ingin menyebutmu Panda, tetapi aku malah menyebutnya Beruang.
Tapi tak apalah, aku juga sangat menyukai beruang. Bulunya lebat menghangatkan, sama hangatnya perasaanku saat melihatmu tersenyum. Bahkan saat kau sedang memarahiku.
Aku suka momen kedua itu. Sungguh.
Dulu, kau pernah bilang padaku, kalau kau sangat menyukai hujan.
Entah karena kenangan manis bersama mantanmu, atau karena dulu kau diputuskan saat hujan turun.
Kau mulai suka pada hujan.
Karena hujan telah menyelamatkanmu dari api kemarahan yang membuat darahmu mendidih, hingga air matamu meninggalkan kelopak indahnya, pergi melewati sungai mungil nil yang ada di wajahmu.
Setelah tahu, kau suka hujan.
Aku pun mulai berpikir tentang sesuatu yang kadang dibenci orang.
Sebab, aku merasakan penderitaan yang terpenjara di balik senyum manismu, bibir tipis dan cerewet, kau terus bersembunyi dari semua pertahananmu itu.
Aku Peduli.
Itulah mengapa aku berpikir, esok lusa, aku ingin menjadi aktivis saja.
Selain karena mengerti kondisi negara dan mengadvokasi masyarakat.
Di samping itu, aku juga ingin mengadvokasi hatimu, dan membebaskan penderitaan yang terpenjara dalam dirimu.
Aku sadar.
Kau terlalu sayang untuk disakiti.
Alam semesta ini akan bangkrut bila saja ia kehilangan dirimu.
Dan aku sayang pada semesta ini, aku tak ingin ia bersedih karena kehilanganmu.
Makanya, aku berusaha agar bisa menjagamu demi keseimbanga semesta ini.
Aku ingin.
Dan aku tak tega melihat kecantikanmu, digerogoti oleh parasit kebahagiaan, hingga kau terlampau tua lebih dari semestinya.
Aku tak ingin kau menjadi tua sendirian.
Aku takut kau kesepian lalu sedih.
Aku tak ingin semua itu terjadi, walau kutahu, pada akhirnya memang, kau akan menua juga.
Maka dari itu, izinkan aku menua bersamamu, dan berikan padaku sebagian penderitaan yang menyakitimu.
Biarlah kau luka, dan aku yang menanggung perihnya.
Makassar, 21 November 2018




0 komentar