Santet Ketidakadilan (Sebuah Puisi, Karya Djisuk)
![]() |
| Djisuk_ |
Jam dinding masih tersampir rapi di badan tembok warna putih ruang tamu.
Suara kendaraan berbagai rupa merayap di jalan raya. Sungguh teramat bising dan mengganggu ketenangan.
Padahal, jam berwajah bundar di tembok itu, jarumnya sudah mengisyaratkan, malam telah menggelinding ke dini hari sejak lima belas menit yang lalu.
Detak-detak samar dari mesin mungil yang tak pernah lelah memutar jarum-jarum penunjuk waktu. Mengingatkan bagaimana manusia kini yang terus bekerja siang malam. Bahkan dari pagi ke pagi atas nama lembur demi tercapainya target dengan upah tambahan. Padahal, upah tambahan tak pernah sepadan dengan tenaga dan derita pekerja yang abai dari nurani sang Tuan Harta.
Sial!!!
Demi target, sehingga kebahagiaan bersama orang-orang terkasih dan kesempatan tepat merawat tubuh, kini tergadai tanpa hak dan proses rasionalitas.
Bahkan, target dari Tuan Harta, sangat ampuh menghapuskan para mantan dari ingatan, demi memastikan produksi tetap melimpah tanpa peduli dengan distribusi yang adil.
Meski terkesan edukatif, sebab target seolah membimbing pekerja pada jalan kesetiaan, karena pekerja hanya akan mengingat keluarga dan pekerjaan saja.
Namun di balik semua itu, ada keresahan yang menumpuk jadi luka. Luka-luka menjelma bagai amunisi perang, lalu perang pecah tersulut oleh ketidakadilan yang diproduksi dari butanya nurani-nurani Tuan Harta berzirah kesombongan lagi berjiwa binatang.
Tiga puluh menit sudah, dini hari menggelinding kian nampak. Namun deru mesin kendaraan seolah tak mau padam mendaras jalan raya lalu emisinya mengambang di udara membentuk polusi.
Apakah pengendara itu masih kurang makan garam, sehingga belum tahu kalau saat ini sudah waktunya merebahkan diri di tempat tidur?
Astaga!!!
Apakah kesibukan mereka yang selalu hilir mudik bahkan di waktu istirahat begini adalah karena si Tuan Harta?
Apakah betul mereka memaksa manusia menjadi sekrup-sekrup industri bagai robot yang tak bernyawa dan tak kenal lelah?
Sungguh itu sangat mencekik dan memendekkan napas yang semestinya tenteram tak sesak.
Tapi sesak napas, tenggorokan kering itu tidak berlaku bagi si Tuan Harta beserta konco-konconya. Mereka justru menyambung hidup dan bernapas lega oleh hasil dari tercekiknya kehidupan Akar Rumput.
Sementara Akar Rumput hanya dapat bergantung pada narasi keadilan di pangkuan penguasa sistem. Di sanalah para Akar Rumput menggantungkan hidup dan kehormatan dirinya.
Sayangnya, janji-janji keadilan itu hanya berlaku saat musim kampanye politik tiba. Katanya, keadilan adalah milik seluruh rakyat. Tapi itu hanya berlaku di musim kampanye saja. Tidak lebih, tidak kurang.
Celakanya. Akar Rumput selalu saja jatuh ke lubang yang sama secara teratur. Suaranya dibeli dari seorang calon pejabat yang pandai membual soal politik barat dan eropa. Padahal pembual itu hanya boneka dari si Tuan Tanah. Sama saja dengan sekrup industri. Bedanya boneka pembual ini lebih elit ketimbang sekrup industri.
Sementara hakikat politik barat dan eropa itu sungguh tak bisa mensejahterahkan manusia yang tercipta dari Tuhan Yang Esa. Sederhananya, konsep kesejahteraan itu rasionalnya datang dari Tuhan Yang Maha Esa juga. Bukan dari hasil onani politik manusia yang menghasilkan penindasan dan kesejahteraan sepihak.
Lihatlah. Boneka-boneka itu teramat gemar mengibuli rakyat. Mulai dari janji-janji politik yang terus bertambah tanpa menyelesaikan janji-janji sebelumnya. Menaikkan harga-harga kebutuhan pokok dan penunjang lainnya. Mencabut subsidi wajib untuk rakyat yang diumumkan pada tengah malam hari.
Padahal, rakyat di jam seperti itu, sedang sibuk-sibuknya berganti jam kerja, atau di jalan raya menuju rumah, atau yang lainnya sedang menenangkan penatnya dalam keadaan lapar menyiksa diri.
Atau, rakyat sedang melaksanakan pekerjaan mulia, mengucurkan peluh bersama kekasih di ranjang asmara demi lahirnya manusia-manusia baru.
Lagi-lagi. Pengumuman kebijakan paling bejat itu, hanya disaksikan oleh mereka-mereka saja beserta Tuan Harta yang diaminkan keserakahannya oleh pengurus negara.
Celakanya lagi. Akar Rumput selalu saja sok polos dibeli kepercayaannya di musim kampanye, tanpa perlu menimbang-nimbang berdasarkan fakta penderitaan selama kemerdekaan berjalan mendaras teka-teki waktu.
Sudah saatnya Akar Rumput meninggalkan kebodohan yang menjadikannya munafik. Bilang benci ketidakadilan, tapi menjilat juga saat diberi keuntungan dari penguasa pembual, meski tetap tak adil untuk saudara-saudaranya yang lain.
Kita harus menyudahi santet ketidakadilan dari sistem ini yang terus-menerus memproduksi kader politik karbitan, di mana prestasinya hanya terkenal merampok uang negara dan menyengsarakan rakyat.
Sehingga, politikus-politikus yang pandai berbual, hendaknya meninggalkan penerapan politik barat dan eropa yang hanya menjadi belati dalam tenggorokan di setiap inci napas Bangsa ini.
Kalau benar kita sudah merdeka tapi masih tetap menderita seperti ini. Itu artinya, kita perlu mendeklarasikan kemerdekaan lagi.
Sebab narasi kemerdekaan di bawah sistem kapitalisme, adalah penindasan dan kebodohan paling sengaja.(*)
Djisuk_
Makassar, 3 Februari 2020.




2 komentar
👍
BalasHapus😎😎
Hapus