Ambivalensi Penguasa-Sebuah Prosa.



Lalu, apakah pantas perampok hak-hak anak bangsa dan kas negara dibela oleh pemegang tampuk kekuasaan hanya karena ia teriak-teriak dirinya pancasilais?


Di setiap hari kebesaran bangsa ini, permainan memalukan itu kembali diperagakan, sebentar lagi. Seperti panjat pinang dan kawan-kawannya yang lain, padahal itu merupakan tradisi penjajah dahulu yang dijadikan sebagai ajang cuci mata, sekaligus mengocok perut para kompeni untuk mengendorkan urat saraf mereka yang tegang akibat suhu politik dunia yang terus memanas, sementara gerombolan pemberontak pun kian massive menggoyang kekuasaan penjajah.

Tapi sekarang. Lihatlah baik-baik ke dalam istana. Tak ada lagi hening cipta yang menitikkan air mata bersama do'a yang tulus dipanjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Tak ada lagi pesan-pesan moral para kesatria yang mengobarkan semangat jihad melawan neo imperialisme, sebagaimana dulu para ulama melawan penjajah dengan pekikan TAKBIR. Sementara anak-anak negeri saat ini dijauhkan dari sejarah bangsanya, mereka dijuluki sebagai anak-anak jaman now agar mereka berpikiran 4.0 dan melupakan batu-bata serta pilar-pilar berdirinya bangsa ini yang penuh pengkhianatan.

Mereka sudah terjajah dan dibodohi sangat jauh. Para elit kuasanya juga sibuk berebutan takhta, berlomba mengencangkan suara berteriak Aku Pancasilais, Aku Indonesia tapi memerangi syariat Tuhan yang memberi mereka keberkahan untuk merdeka di tahun 1945.

Cuuiiihhhh, BAJINGAN. berhentilah teriak-teriak paling pancasilais sementara anda menginjak-injak nilai-nilai pancasila itu sendiri.

Aduh... maaf. Maafkan aku anakku, aku sudah berbicara sangat banyak, tapi itu belum membuatku tenang.

Anakku...
Inilah ambivalensi pejabat korup di negeri kita, atas nama demokrasi, ia membiarkan tubuh ibu pertiwi digasak dan dieksploitasi oleh paman sam, sambil menutup mata dan berkata, "Aku anak bangsa, putra-putri ibu pertiwi yang kucintai, demi ia aku rela berkorban nyawa bila ada yang menodainya walau sejengkal saja!"

Cuuuiiihhh... menjijikkan.
Ini merupakan pembelaan paling tragis, anakku. Sambil merelakan ibu pertiwi digarap habis oleh paman sam, ia pun turut menggarong harta warisan ibunya sendiri sambil berkata, "Aku Pancasilais... AKU PANCASILAIS... Aku pembela ibu pertiwi." Teriaknya sangat lantang di depan awak media.

Melihat kenyataan itu, anakku. Perutku kontan nyeri sekaligus mual, batinku sakit bagai tersayat-sayat sembilu menyimak kebohongan demi kebohongan yang terus mereka sabdakan di hadapan pers.

Anakku....
Tahukah kau apa yang telah kusaksikan itu?

Dulu, kupikir mereka para pers adalah martir pembela hak rakyat kecil, kesatria suci dari kuil gedung-gedung tinggi pencakar langit, dengan alat elektroniknya mereka bekerja sebagai penyambung lidah yang terpenjara oleh sistem beserta rezimnya yang suka maksiat dan menindas.

Anakku... ahhh... dadaku sesak... rasanya tak mampu lagi mengutarakan pesanku padamu sebagai bekal untuk kau hidup menjadi martir, yang kelak akan menyobek-nyobek selangkangan demokrasi hingga ke dasar rahimnya, agar ia tak lagi mampu mereproduksi jaringan pembodohan, penindasan, pembantaian, penguasaan hak umat secara sepihak dan....

Dan, agar pengikutnya tak lagi menginjak-injak rakyat kecil, tak lagi mempersekusi aktivis dan juga alim ulama.

Anakku. Dengarkan baik-baik pesanku ini. Jika akalmu sudah cukup membedakan kebatilan dengan yang hak. Jangan biarkan keraguan mengelabui nalar sehatmu, jangan biarkan harta dan pangkat dunia membelokkan perjuanganmu, sebab semua itu akan binasa pada waktunya, dan orang-orang yang tergiur oleh godaan setan-setan demokrasi-kapitalisme, akan merasakan sesal tiada ujung di mana hari pembalasan itu sudah nampak nyata di hadapan mata para pendusta Ayat-Ayat Suci Tuhan di dunia ini.

Khemmm.... sekali lagi. Dulu, kukira mereka itu adalah martir, penyambung lidah rakyat sekaligus sebagai penyeimbang di tengah carut-marutnya ekosistem keadilan. Ternyata, di hadapan para koruptor pemuja demokrasi, termasuk para aktivis dan politisi penjilat sekaligus kutu loncat yang getol teriak-teriak paling pancasilais, bersekongkol dengan para pers yang terjerumus ke dalam lubang maksiat itu, juga ikut-ikutan mengangguk-angguk bodoh bagai kepala yang tak pernah sekolah.

Ahhh... anakku. Drama ini memang sungguh menjijikkan. Kelak jika kau sudah dewasa, kenalilah baik-baik siluman bernama demokrasi itu, lalu tikam ia dalam-dalam di selangkangannya, dan pastikan sistem reproduksinya hancur tak berjaring sel lagi.

Sebab, bila tidak kaulakukan itu, anakku, maka ambivalensi kekuasaan akan terus melingkar bagai jaringan setan. Di satu sisi penguasa butuh SDM yang visioner untuk membangun negeri, akan tetapi penguasa sendiri yang akan menggantungnya tanpa akal sehat bila sudah berani meneriakkan keadilan bagi seluruh umat. (*)

_Djisuk
12 Agustus 2019

You Might Also Like

0 komentar