Catatan Djisuk

  • Home
  • Trending
  • _Gadgets
  • _hello
  • contact


Puisi
Penari Hipokrit

Saat gemulai lekuk tubuh politik menggeser kejernihan pandangan, mengalihkan perhatian antara titik perlawanan dan persetubuhan kepentingan.

Di mana diplomat terkuat adalah pemilik modal. Yang benar bisa menjadi salah, sementara yang salah bisa berubah menjadi sebuah kebenaran tanpa bantahan yang berarti.

Ya, itulah politik hipokrit. Jika anda pandai menari di panggung politik sesuai teks arahan, maka anda akan selamat dan jadilah boneka kesayangan tuan.

Tapi, jika anda membuat manuver sekecil apapun saat menari di atas panggung kepentingan atau menari di jalan raya dengan megafon, terlebih jika itu dapat membongkar kebusukan tubuh politiknya yang selalu berlenggak lenggok gemulai bak ular betina mencari mangsa.

Atau kau jelaskan bagaimana ia menggoyang kepala dengan iringan instrumen perjuangan, seolah mereka benar-benar berjuang untuk kepentingan universal. Sayangnya, para penonton lupa satu hal, bahwa di atas kepalanya, ada dua tanduk yang siap merobek segala kain kecemasan berbentuk protes. Dan akhirnya, para pendamba keadilan, akan meringkuk busuk di balik jeruji besi oleh telunjuk boneka penari kekuasaan hipokrit.

Atau, meregang nyawa dengan alat bukti yang sungguh menggelikan. Karena mereka, yang tidak ada, bisa diada-adakan.

Selamat Hari Tari Sedunia. Menarilah, dengan gayamu sendiri.

Djisuk.
Jeneponto, 29 April 2020
  • 1 Comments



Part 1
Bidadari PMS
Ini adalah malam Minggu. Dan aku hanya sibuk merebahkan diri di sofa ruang tamu milik Paman.

Pamanku segaris keturunan dengan Bapakku. Ia sangat baik karena bersedia memberiku tumpangan untuk tinggal di kota besar ini.

Tapi, bukan Paman yang akan menjadi topik ceritaku. Seperti yang kubilang tadi. Aku sedang merebahkan diri di sofa ruang tamu milik Pamanku. Dan di meja sana, terdapat satu kotak semi kaca, di dalamnya ada sekuntum bunga yang memiliki dua helai daun berwarna hijau tai kuda.

Mataku sempat kutolehkan sedikit ke kanan, "langit kota Makassar pasti sangat gelap," bibirku lirih mengekori pandaganku.

Meski posisi sofa ini dikelilingi oleh dinding yang menghalangi pandangan. Tapi, dari balik mata jendela, akhirnya aku dapat menebak, bahwa memang langit malam kota Makassar sedang gulita. Sebab, tak ada sedikit pun percikan senyum rembulan yang tersesat ke cendawan kaca jendela di sana.

Mataku kembali menyasar meja di mana sekuntum bunga itu teronggok cantik di atasnya. Meja ukir yang terbuat dari kayu jati pilihan, sekaligus menjadi rak buku-buku yang kubeli dari hasil jerih payahku sendiri selama ini—tak ada buku pinjaman, apalagi buku curian dengan motif meminjam sebentar lalu pura-pura lupa mengembalikan sambil berdoa agar pemiliknya nanti juga ikutan lupa pernah meminjamkan bukunya.

Karena bunga itu, aku akhirnya ingat pada sesuatu sekaligus menjadikanku diterjang rindu teramat dalam.

Beberapa bulan lalu saat aku pulang ke kampung—bukan kampung halamanku—aku menyempatkan singgah di sebuah kedai. Di sana aku bertemu dengan seorang penulis sekaligus menjual bunga kaktus yang masih bayi.

Saat itu, bunga kaktus sedang naik daun. Aku akhirnya memutuskan untuk membeli satu beserta pot mininya yang pas di genggaman—siapa juga yang mau beli kaktus tanpa ada potnya?

Maaf. Aku tak sedang membicarakan penulis itu. Melainkan bunga kaktusnya saja.

Setelah membayar. Aku menunggu beberapa menit hingga bunga pesananku selesai dibungkus. Sebab bunga itu akan menempuh jarak bersamaku melewati tiga kabupaten sebelum sampai ke kabupaten yang kutuju, yakni kabupaten Jeneponto—orang-orang mengenalnya dengan kota kuda dan kota lumbung garam. Meski sekarang sudah bertambah lagi, dikenal sebagai kota kincir angin (ini berlebihan sekaligus salah).
Kabupaten ini menyimpan banyak cerita menarik selama periode perjalanan manusia di muka bumi ini. Tapi, legenda-legenda tentang Jeneponto, akan kuceritakan lain kali saja.

Di perjalanan, rasa khawatir di dadaku sungguh sangat mengganggu konsentrasiku mengendarai motor matic Honda Beat ini. Meski aku laki-laki, tapi aku tetap saja manusia yang punya rasa khawatir sejak awal penciptaanku. "Semoga bunganya aman di dalam kotak," gumamku setiap kali melewati aspal berlubang yang merusak kendaraan sekaligus salah satu penyebab terjadinya banyak kecelakaan. "Dasar, pejabat tak berguna. Saat momen kampanye saja mereka sibuk mengumbar janji sampai mulutnya berbusa-busa. Katanya akan mengakomodir seluruh keluh kesah rakyat, tapi buktinya? Ah. Sudahlah."

Aku menggerung geram saat motor yang kukendarai masuk ke dalam lubang dan menghasilkan suara debam yang hebat sekaligus retakan di badan kendaraanku. Motorku rusak parah. Lampunya mati seketika, termasuk rumahnya ikutan jadi korban. Tulang penyanggahnya patah. Akhirnya setiap laju kendaraan ini menghasilkan suara-suara lucu di sana sekaligus memancing emosi: pertama, lucu karena suaranya seperti kalung kerbau yang gemeletuk saat penggembala kerbau, sapi dan kambing mengarak gembalaannya menuju tanah lapang di lembah-lembah. Kedua, aku mulai cemas karena akan merogoh lagi uang tabunganku yang susah payah kudapatkan demi membayar perbaikan di bengkel. “Apakah para pejabat itu tak pernah lewat di jalan raya ini? Sehingga mereka tak tahu kalau jalan raya kabupatennya penuh dengan lubang-lubang aspal yang dapat membahayakan nyawa pengguna jalan?” Aku mendengus sebal.

Hidup di sistem gila semacam ini, memang kita harus kuat bertahan di antara kewarasan dan kebodohan yang serakah. Waras jika berdiri tegar menantang penindasan, tapi bodoh jika berdiam diri melihat kesewenang-wenangan penguasa berbual sana sini, hanya manggut-manggut menyaksikan pejabat yang kerjanya menggarong uang rakyat tanpa memerlukan lagi neraca pahala dan dosa di setiap perbuatannya. Padahal Pancasila begitu sarat dengan seruan agar perbuatan disandarkan pada neraca pahala dan dosa di rukun pertamanya—Ketuhanan Yang Maha Esa—maka segala perbuatan yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut, tidaklah sesuai dengan Pancasila dan kebudayaan Indonesia.

Tanganku lincah menyelamatkan kotak kaktus yang hendak terpental dari dalam saku daypack milikku. Aku teramat khawatir jika saja kaktus itu sampai jatuh. Bukan karena harganya, melainkan karena jarak dari tempatku membeli bunga itu yang sudah terlampau jauh. Apalagi tulisan khusus yang sudah kupesan di dalam kotaknya, sungguh tak dapat dibayar dengan rupiah—apalagi jika rupiahnya hanyalah hasil menggarong di kas negara.
Bila kuingat kembali, untuk menyelesaikan tulisan yang ada dalam kotak ini, setidaknya aku butuh waktu dua malam satu hari agar dapat merampungkannya. Aku yakin, mungkin setiap penulis, atau bahkan setiap orang juga sepakat bahwa kadangkala, menulis narasi yang singkat padat dan jelas yang dapat mewakili semua apa yang ingin disampaikan kepada seseorang, yang mungkin saja bila dituliskan semuanya tak akan muat bila hanya dituang dalam puluhan lembar kertas saja, adalah sebuah pekerjaan yang terbilang sulit dan menyakitkan. Bahkan jika itu dilakukan dengan penuh rasa cinta dan bangga.

Ada beberapa alasan yang membuatnya terkesan menyakitkan. Sayangnya, narasi di atas sudah terlampau panjang. Sehingga, mungkin akan di jelaskan di cerita-cerita lainnya saja.

***

Akhirnya aku sudah berdiri di depan pintu rumah setelah puas berkelit-kelit dengan lubang-lubang biadab jalan raya itu. Rumah di mana beberapa bulan silam, masih sangat asing dan sungguh membuat keberanian seorang lelaki menjadi terguncang.

Akan tetapi, aku tak pernah lupa dengan filosofi sunflower. Jika beberapa orang cenderung menghindari tekanan serta guncangan, maka bunga yang satu ini justru sebaliknya. Ia malah sangat membutuhkan tekanan serta guncangan dari dalam tanah agar kembangnya dapat mekar yang akhirnya menjadi indah dan memesona di pandangan.

Bagi seorang lelaki, tekanan itu perlu agar kejantanannya dapat terpicu lalu menjelmalah sebagaimana Ar-Rahman yang bersemayam dalam dirinya. Termasuk, boleh jadi seorang lelaki yang terlalu dominan sifat Ar-Rahim dalam dirinya sehingga ia berpesona bak perawan istana yang salah tempat membuka auratnya, pun juga membutuhkan tekanan agar dapat menunjukkan jati dirinya. Setidaknya, suara aslinya dapat nampak di saat dirinya sedang marah.

Kakiku telah sampai tepat di hadapan daun pintu sang Kekasih. Malam itu, angin berdesau teramat pelan, kejora beserta rembulan mengintip dari balik awan putih yang berarak sangat tipis di atas sana, sehingga bias cahayanya yang anggun hinggap tepat di wajah Kekasihku yang telah berdiri sama anggunnya dengan cahaya rembulan dan kejora itu. "Sungguh, ini pemandangan yang teramat impresif," lirihku sembari menenangkan degupan dada yang berirama bagai genderang perang di sumur Badar.

Lihatlah. Tatapan matanya yang cemerlang, membuatnya bagai bidadari yang sengaja membolos dari surga. "Astaga. Apakah dalam surga tak ada sistem penjagaan yang ketat?" Separuh hatiku mengaduh dan separuhnya lagi dipenuhi rasa syukur yang tak terbilang.

Suara burung belatuk di atas pokok kelapa samping kiri rumah panggung, tanpa permisi mengisi kegamangan antara aku dan Kekasih yang kuduga adalah bidadari surga yang sedang membolos pada malam ini.

Kalimatnya mulai menyambut kedatanganku setelah tahu, aku bagai manekin yang diantar cuma-cuma oleh kurir yang entah dikirim oleh siapa kepadanya. "Sudah sampai?" Tanyanya. Aku tahu itu hanya basa-basi ringan sebagai bahan untuk menenangkan dirinya yang terus-terusan bergetar sejak membukakan pintu untukku. Termasuk suara yang menyambutku itu pun ikut bergetar.

Saat itulah, aku juga baru tahu, bahkan bidadari pun pandai merasa gugup dan gagap menghadapi kondisi yang sifatnya tiba-tiba. Kupikir hanya pemimpin negara yang kurang bacaan sajalah punya patogenik yang pandai bersikap gugup dan cenderung gagap menanggapi kasus-kasus baru kenegaraan. "Astaga. Ternyata bidari pun demikian."

Napasku memburu. Secepat rumus cahaya aku membenahi kegamanganku. Aku masih dalam keadaan terkagum-kagum, sejurus dengan itu aku mencari klarifikasi dalam kepalaku tentang bidadari yang sedang membolos ini. "... Bidadari hanya ada di surga, dan surga hanya dapat dijumpai setelah kematian." Kesimpulanku hampir rampung. "Tunggu. Kalau bidadari hanya ada di surga dan setelah kematian... Apakah aku sudah mati?" Sial, kesimpulanku masih terlalu cepat dan kacau.

"Sedang memikirkan apa?" Tanyanya. "Apa ada yang kelupaan?" Tanyanya lagi.

Aku masih tercenung sebentar sebelum kembali memastikan kondisiku yang gamang ini. "Apakah aku masih hidup?" Tanyaku.

Bidadari itu menyelidik ke bola mataku. Menatapku penuh prihatin. "Tentu saja kau masih hidup." Jawabnya.

"Maksud aku..."

"Maksudmu, aku ini orang mati? Mayat hidup? Kuntilanak? Atau makhluk astral?!" Sergahnya. "Atau jangan-jangan kau punya penyakit somnabulisme yang akut. Di saat kau masih tertidur lelap lalu tiba-tiba kau datang melamarku dan mengucapkan janji suci di hadapan penghulu dan orang tuaku. Padahal kau sebenarnya masih tertidur lelap." Ujarnya mantap bagai ada bara api yang meletup-letup di dalam tungku dadanya.

Bahkan rasa gemetar sebelumnya yang kuyakin itu manifestasi kegugupan bertemu denganku, kini semua telah berbalik seratus delapan puluh derajat. Bidadari yang semula teramat manis dan... aduh, tak bisa diwakili dengan kalimat apapun lagi, kini beralih bagai ibu-ibu pemilik indekos yang malam-malam datang menyalak menagih uang sewa.

Aku buru-buru memperbaiki kosa kataku. "Bukan, bukan itu maksudku." Ucapku penuh hati-hati.

"Lalu?!" Suaranya bergetar.

"Sejujurnya aku bingung..."

"Bicaralah yang jelas. Kau tentu bukan anak-anak ingusan lagi, bukan?!" Serganya dengan tatapan yang seolah ingin menerkamku.

Aku kontan bergidik lalu menelan ludah. Mengatur napas yang menderu kacau. Sial. Pikiranku tentang bidadari yang sedang membolos itu sudah sempurna lenyap. Aku sekarang berada dalam masalah besar. Masa iya, jauh-jauh aku dari kota Makassar menerobos kejamnya sesak polusi, pengap dan kemacetan yang sungguh-sungguh menguji kesabaran, melintasi tiga kabupaten sekaligus, melesat bersama kendaraan roda dua bagai kecepatan cahaya. Lantas aku hanya datang untuk menerima omelan dan tidur di luar kamar. "Astaga. Sungguh, aku juga baru tahu, kalau ternyata bidadari itu tak hanya bermata bening, menyejukkan pandangan serta senyuman manisnya yang hendak mencabut nyawa seketika dengan kebahagiaan." Aku menelan ludah. "Ternyata, bidadari pun pandai menyalak dan membuat kita resah di saat ia menyembunyikan tatapan kasihnya."
Aku setengah meracau, memaki diri sendiri. Bilang sangat bodoh membuat pertemuan yang mestinya menyenangkan disertai cakap-cakap ringan yang renyah penuh hikmah dan bahagianya pengantin baru di sepertiga malam hari. Tapi sekarang semua sudah kacau. Aku mendengus kesal pada diri sendiri.

Aku harus memperbaiki keadaan ini.

"Maksud aku..."

"Apa?"

"Jangan dipotong dulu kalimatku."

"Baik. Silakan." Balasnya datar.

"Maksud aku. Kalau aku memang masih hidup, kok bisa ada bidadari sedang berdiri di hadapanku sekarang?" Ucapku mantap disertai senyumanku yang paling manis.

Aku keliru. Ternyata, jika bidadari telah marah, tak ada yang bisa membuat ia berhenti kecuali kemauan dirinya sendiri.

"Halah. Gombalanmu. Itu adalah gombalan kolot sekaligus basa-basi yang paling basi." Ujarnya.

Wajahku pias, sekaligus kecut hati. "Ternyata, aku tipikal penggombal yang payah ya?" Ucapku lirih. Entah itu sebuah kalimat tanya yang butuh jawaban atau bukan. Lebih tepatnya hanya kalimat putus asa saja.

"Ya, benar. Dan bukan hanya itu saja. Kau juga seorang penghayal yang memprihatinkan sekaligus menyebalkan!!!" Tegasnya.

Astaga. Itu kalimat jelas menikam relungku yang paling dalam. Bahkan siapapun itu. Tapi, harus bagaimana lagi. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain berucap lirih dengan kalimat maaf paling tulus yang kupunya.

Aku juga bodoh. Tak mampu menyadari kondisi ini lebih awal. Rupanya sejak percakapan awal, Kekasihku ini tak sedang gugup atau apalah yang semisal dengan pemipin negara yang apa tadi? Suka gugup dan gagap sendiri mengatasi masalah kenegaraan. Ya. Itu.

Aku terdiam sebentar. Membiarkan angin malam yang berembus bebas menari-nari mempermainkan kerudung jingga miliknya yang menyerupai senja di kaki cakrawala setiap kali benda sebiji di atas langit itu pamit tenggelam ke bibir laut di barat sana.

Napasku mulai teratur. Tepatnya, kupaksa agar dapat teratur. Aku tahu aku sudah salah memulai percakapan ini. Di kepalaku, mungkin dia sedang PMS. Semua makhluk di bumi ini tahu persis bagaimana spesies yang satu ini jika sedang PMS—hanya orang-orang paling miskin literasi sajalah yang tak mengerti apa itu PMS dan bagaimana cara menyikapinya.

Mestinya. Aku sudah menyadari sejak tadi saat dia memulai percakapan tanpa mengikutkan kata “Sayang” di akhir kalimatnya sebagai kata ganti diriku yang menjadi lawan bicaranya. Mestinya aku sudah paham sejak di situ. “Astaga. Urusan ini pasti bakal rumit sekali.”

Baiklah. Aku lebih baik membuat pengakuan saja. Berterus terang dan lalu manut-manut saja di setiap apapun yang dia bilang. "Aku minta maaf. Aku tak tahu kalau semua basa-basiku itu bisa merusak suasana hatimu, suasana pertemuan kita yang semestinya ditingkahi senyum dan tawa yang meriah karena rindu telah bertemu setelah sekian lama lelah melipat jarak." Ucapku tanpa dipotong-potong lagi. Mungkin dia suka kalimat itu. "Aku sungguh minta maaf, jika kehadiranku merusak suasana damaimu." Aku menarik napas, lalu menelan ludah berupaya mengendalikan diri.

"Setelah pertikaian kecil tadi. Aku mulai menyadari fakta klasik. Bahwa semua kekacauan ini ada konsekuensinya. Aku tahu aku akan tidur di luar, tak dapat menikmati senyumanmu yang paling manis, dan juga jatah kopi paling sempurna dari racikanmu sendiri. Aku terpaksa kehilangan semua itu kali ini. Dan, aku tahu itu." Aku berhenti sejenak menggeser kakiku yang mulai kebas dan juga sengaja tak menggunakan diksi “Sayang” di setiap kalimatku.

Bidadari itu masih bergeming di depan bingkai pintu yang daunnya sudah terbuka sempurna. Mestinya, aku sudah melewati bingkai pintu itu sejak tadi. Celakanya, aku terlalu amatir untuk sebuah pertemuan manis dan memulai percakapan.

"Tapi tenang saja." Napasku memburu. Suaraku bergetar dan lidahku hendak kelu. Tapi, keputusan dan tekadku masih lebih kuat dari gangguan grogi macam apapun. "Tapi tenang saja, aku masih sanggup berkendara tiga atau lima jam lagi malam ini.” Aku mencoba tersenyum seolah tak ada keributan apa-apa saat ini. Aku tahu itu berat. Bahkan semua orang juga tahu itu. Tapi itulah pertahanan paling cepat yang kita punya di saat tersudutkan oleh kesalahan sendiri seperti ini. Ditambah, PMS sialan itu. Mengapa harus ada yang namanya PMS sih? Aku meracau dalam hati. “Tapi sebelum itu, tolong terimalah hadiah kecil ini dariku." Aku sudah merogoh saku daypack yang masih setia di punggungku. Setidaknya aku sudah terlatih hanya dihangatkan oleh gendongan ini selama bertahun-tahun tanpa Kekasih. "Setelah kau terima, aku akan balik lagi ke Makassar sekarang juga agar tak menambah beban hatimu." Ujarku dengan nada bergetar.

Meski Lelaki juga punya air mata, tapi tidak kali ini. Tak akan kubiarkan ia menembus pertahananku. Sial.

Kekasihku teramat serius menatap kotak yang sudah kusodorkan itu. Matanya memicing penasaran dengan tulisan kecil di sampul depan hadiah kecil itu. Untunglah dia mau menerimanya. Meski sebenarnya lebih kepada rasa penasaran saja dengan tulisan kecil itu dan bukan benar-benar karena empati.

Sementara dia masih sibuk membolak-balik kotak kecil itu, memperhatikan betul detailnya, aku sudah balik kanan menghidupkan mesin kendaraan. Ketika dia hendak membaca tulisan di sampul kotak itu aku sudah berada dua puluh meter darinya. Aku menarik tuas gasnya sekeras yang kubisa. Melesat cepat seperti semula yang menyerupai kecepatan cahaya.

Aku sudah jauh. Bahkan ketika ia sudah menyadari aku sudah tak ada lagi di hadapannya, lantaran sibuk membolak-balik kotak hadiah itu. Atau sedang sibuk mengeja tulisan kecil di sampulnya. Atau mungkin sekarang dia sudah membuka hadiahnya dan telah membaca isinya. Entahlah.

***
Bersambung...
Catatan Penting!
“Ini hanyalah cerita fiktif. Bila anda mendapati kebencian di hati setelah membaca cerpen ini, maka itu tandanya ada dua bagian penting yang perlu diketahui secara jelas di sini: pertama, itu merupakan kecamba-kecamba iri serta dengki di hati anda. Dan itu sungguh kasihan sekali. Kedua, jika benar itu terjadi, maka bodoh amat, karena kami tidak peduli. Dan in syaa Allah., kami baik-baik saja.”

Sampai jumpa di cerbung berikutnya. Dan terimakasih sedalam-dalamnya bagi anda yang telah bersedia menghabiskan waktunya untuk membaca cerbung ini.

Wassalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

  • 2 Comments


"Buku ini sungguh teramat mengagumkan. Hendaknya, para pencari arti kebahagiaan sejati dalam hidup yang singkat dan penuh dengan tipudaya dunia, mestilah membaca buku ini!"

Saya sampai pada halaman 299 buku ini, tepat pada Rabu, 15 April 2020 pukul 03:27 dini hari di atas sofa merah darah ditingkahi motif bunga keemas-emasan.

Buku ini dihiasi dengan 31 Bab ditambah Epilog tanpa perlu dikawal dengan daftar isi yang kadang menimbulkan syak wasangka yang keliru. Atau bahkan optimisme yang terlalu perawan, bagai teka-teki sial yang mengecoh dan mengecewakan.

Selain untuk para pencari arti kebahagiaan sejati yang selalu dirundung kegamangan semesta, pun ini sangat cocok untuk anda yang sedang mencari referensi unik dalam menambah khazanah ilmu parenting yang kita miliki saat ini.

Dalam buku ini terdapat banyak sekali pelajaran berharga yang tak sebanding dengan harga buku ini saat dipinang di Gramedia. Lihat buku-buku terbitan gramedia di sini. Apatah lagi, seluruh alur cerita dan pelajaran yang tertuang di dalamnya selalu di luar dugaan pembaca. Kalau menurut bahasa marketingnya nih, "fasilitas pelayanan di atas ekspektasi."

Ketika anda menyusuri setiap alur cerita pada buku ini, maka jangan heran jika sewaktu-waktu anda akan kembali ke masa kanak-kanak yang sungguh menggemaskan, lalu tiba-tiba anda menjadi orang tua dan anak sekaligus serta menjadi manusia paling beruntung telah berkenalan dengan tokoh-tokoh dalam cerita. Lalu serta merta berharap agar anak yang lahir kelak dari jalur percintaanmu akan tumbuh menjadi anak luar biasa serta memiliki pemahaman yang hebat.

Atau anda akan merasakan penyesalan di setiap penggalan cerita jika mengulas tentang kejadian masa kecil.  Tentang mengapa anda begitu bebal dan suka membuat orang tua marah, serta cenderung menuntut untuk dibelikan hal-hal yang terkesan aneh. Tidak seperti bagaimana tokoh anak dalam cerita ini yang luar biasa sekali karena bisa bersikap dewasa lebih cepat dan lebih baik dari anda.

Atau jika anda adalah seorang ibu maupun seorang ayah. Dalam sekejap anda akan merasa, betapa rugi dan hinanya kita selama ini telah bersikap fatal kepada anak sendiri karena cara mendidik yang salah. Termasuk pula kebiasaan bersikap tidak adil kepada diri sendiri karena terlalu sibuk ngurusin hidup orang lain, sementara lupa membenahi rumah tangga sendiri.

Atau jika anda adalah seorang guru, yang masih kaku atas aturan-aturan baku yang mengungkung kreativitas, maka buku ini cocok untuk dijadikan referensi.

Dan bila saat ini anda adalah seorang hakim, jaksa, atau penegak hukum apapun itu, maka berhentilah menyembah pada ketakutan yang bermahkotakan kepentingan diselubungi rupiah.

Dan jika anda, siapapun itu yang sedang mencari jawaban atas keresahan banyak hal tentang hidup, maka buku yang berjudul Ayahku Bukan Pembohong ini terbitan Gramedia karya Bang Tere Liye, sungguh sukses menjadi apa saja yang berguna bahkan sangat berharga untuk pembaca yang budiman.

Termasuk buku ini dapat menjadikan kita kembali seperti anak kecil di masa lalu dan tiba-tiba melompat jauh ke masa mendatang menjadi seorang sufi yang teramat bahagia.

Setelah membaca buku ini, anda akan menemukan jalan untuk memaafkan apa yang pernah melukaimu bahkan jika itu menusuk relung paling dalam.

Akhirnya kita kembali ke topik buku ini. Ayahku maupun ayahmu, sungguh benar-benar bukan pembohong.

Selamat membaca.

#panjangumurliterasi
#bukuindonesia

Makassar, 15 April 2020.

  • 5 Comments



Puisi
Mata Sejarah
(Djisuk)

Setengah perjalananku telah usai.

Aku merangsek dari jalur terjal tebing kebohongan, menyibak semak belukar kemiskinan, berharap dapat lari dari keterpurukan. Padahal, alam semesta sungguh tak pernah kekurangan pasokan kebahagiaan.
Aku meninggalkan segala jejak perjalananku sebelumnya, tepat di sudut-sudut mimpi akan janji kemenangan.

Teriakan arloji perjuangan terus berputar tak pernah melawan arah, mengekori gerak matahari, teriknya memantul di sekujur tubuhku, dan akhirnya menjelma bagai jelaga di tungku dapur revolusi yang terlupakan.

Waktu terus berputar, meninggalkan yang lamban di perseteruan manusia. Aku menyaksikan, betapa pengkhianatan akan selalu mendapatkan kursi empuk dan menguasai seluruh pelatuk, serta moncong senjata akan ikut kemana telunjuk si pengkhianat mengarahkannya. Lalu, Undang-undang pun ikut menyembah di kakinya.

Di masa-masa seperti ini, tak penting betul menjadi pintar, jujur dan tawakal agar dapat hidup enak. Sebab, menjadi orang goblok itu lebih mungkin menuai kesejahteraan daripada menjadi orang arif.

Orang goblok akan selalu mendapat keuntungan atas kegoblokannya, sementara orang-orang arif akan berakhir di tiang gantung, atau dengan moncong senjata menempel di jidatnya, bila mana ia terus berpikir dan lancang bersinggungan dengan kekuasaan yang hipokrit.

Aku kembali merangsek dari jalur terjal tebing kebohongan satu ke kebohongan lain, menyibak semak belukar kemiskinan di setiap langkah, berharap dapat lari dari keterpurukan yang sama. Padahal, alam semesta sungguh tak pernah kekurangan pasokan kebahagiaan.

Dari puncak-puncak ketinggian cakrawala, aku berdiri di atas bukit, menatap nanar ke sebuah lembah.

Di sana, pohon-pohon tak lagi bisa hidup damai, air bersih tak lagi dapat bertahan dengan kejernihannya. Binatang-binatang lucu tak lagi dapat dijumpai mata, keseimbangan ekosistem telah hancur. Sementara yang tersisa, hanya binatang-binatang jalang berdasi, pemuja kekayaan kikir lagi menindas.

Mereka bersemayam di dalam beton-beton penjulang langit, kokoh penampakannya, namun sebenarnya ia sangatlah rapuh. Sebagaimana berahi yang meledak-ledak, membuat empunya kalap oleh kenikmatan sementara, sebelum akhirnya terjun bebas terkulai lemas dan mati digilas waktu. Itu satu-satunya harapan bagi rakyat jelata yang tertindas.

Aku adalah mata sejarah yang menyaksikan setiap pergulatan dan perubahan.
Aku melihat naskah proklamasi dibacakan. Melihat soekarno dan Hatta digelandang oleh sekelompok pemuda ke Rengasdengklok. Melihat bagaimana wajah-wajah menggemaskan dan mengharukan meneriakkan kemerdekaan sembari mengepalkan tinju ke angkasa.

Aku juga menyaksikan bagaimana negeri ini diisi oleh kelompok-kelompok bajingan yang menipu kemerdekaan. Aku melihat bagaimana tanah air ini terancam kembali, kemudian diselamatkan oleh Dr. Syafruddin beserta kawanannya dan juga Jenderal Soedirman beserta prajuritnya.

Aku adalah mata sejarah.

Aku menyaksikan bagaimana para petinggi negeri ini berlomba-lomba mengemis kepercayaan kepada rakyat, sebelum akhirnya rakyat kembali ditikam dari belakang oleh kepercayaannya yang teramat polos.

Aku melihat bagaimana rezim di negeri ini berganti-ganti atas nama mimpi-mimpi celaka.

Orla berganti orba. Hingga sampai pada era Reformasi yang membuatku seolah berada jauh dari tebing terjal kebohongan dan semak belukar kemiskinan.

Ternyata aku salah. Reformasi semacam  itu, juga adalah fajar kemenangan yang palsu.

Aku kecewa.

Akhirnya, aku kembali terperangkap di jalur terjal tebing kebohongan dan berjuang menyibak belukar kemiskinan yang lebih ganas lagi.
Celakanya. Sekarang, aku telah buta. Mataku diambil paksa oleh pihak-pihak penipu, lalu digunakan di sekolah-sekolah, di institusi-institusi, di mana saja rezim ini dapat mengibul.

Mataku digunakan untuk melihat dari sudut pandang nafsu kekuasaannya, kemudian memaksa sejarawan nulis sejarah palsu di bawah tekanan moncong senjata dan kepentingan pemodal yang siap menghisap darah perawan ibu pertiwi.

Aku terjerembab pada sistem yang kacau ini. Dan aku mata sejarah, sudah tak bisa bersejarah apa-apa. Cara pandangku, tergantung dari siapa yang berkuasa.

Jeneponto, 13 April 2020.


  • 0 Comments


Hijrah di Jalan Anarki.

Berkeluklah dalam nadamu sendiri. Sebagaimana irama yang punya banyak warna, tapi setiap orang memilih satu warna berdasarkan prinsip hidupnya.

Sebagaimana El, tokoh dalam buku #pejalananarki karya @jazuliimam_  yang punya karakter mahal. Itu terejawantahkan ketika, Sekar--tokoh dalam buku yang sama--hendak mengajak El untuk bicara. Namun, El, justru meminta kepada Sekar untuk membaca dulu buku yang bersinggungan dengan makna bijaksana. Itulah bukti kemahalan sosok, El.

Sebagaimana warna nada berdasarkan prinsip yang saya narasikan di atas. Pun sebagaimana El, yang memilih hijrah dari minuman anggur (dibaca: khamar) menuju proses ta'arufnya dengan kopi arabika di Ijen.

Ketika, El sudah bersahabat dengan kopi hitam tanpa gula, akhirnya ia merasa bahwa candu yang disuguhkan kopi setiap sesapannya justru berkali-kali lipat ketimbang apa yang diberikan oleh alkohol.

El, meninggalkan alkohol karena harga anggur di tahun 2008 itu melonjak naik. Padahal harga awalnya hanya 7000, kemudian naik 11000, 13000, 19000 hingga akhirnya dyarrr naik ke 38000 (dyarrr: cara nulis Jazuli Imam dalam bukunya).

Setelah El mendapatkan candu dari kopi hitam yang stroomnya lumayan kuat sebagaimana kuatnya stroom suguhan di kedai @kopiteori yang sedang dinikmati oleh penulis @djisuk53 sekarang di Kota Daeng.

Melonjaknya harga khamar yang tak terkira dan membuat puyeng kepala El, pun merupakan sebuah anugerah untuknya dan menganggap bahwa ini salah satu bukti sayangnya Tuhan kepada dirinya. Sebab dari sinilah El, akhirnya hijrah dari alkohol ke kopi hitam yang dinikmati tanpa perlu pemanis yang palsu.

Sebagaimana El yang menyaksikan penindasan di mana-mana karena ketidakadilan sistem. Sebab itulah penulis narasi ini pun mengajak untuk menolak percaya terhadap sistem rusak yang mengangkangi negeri ini. Sebab Demokrasi Kapitalisme akhirnya El menderita di jalan perjuangan. Karena Demokrasi Kapitalismelah sehingga El berdiri melawan bersama Sekar yang akhirnya berakhir dengan sangat manis. Mereka kemudian pergi menghadap Tuhan dalam keadaan sepasang yang melawan.

Dan... Nyawa mereka pergi bersama peluru pelat merah biadab yang melesat.

***

Dari sinilah kita perlu belajar. Bahwa Kapitalisme sungguh meresahkan dan terang-terangan memutus nadi kemerdekaan kita. Lihatlah apa yang dilakukan Presiden saat ini. Ia baru saja meneken Perpres nomor 32 tahun 2020. Di mana peraturan ini adalah kunci dari terbukanya gerbang penguasaan aset negara secara menggila.

Badan usaha perseroan terbatas termasuk perusahaan asing boleh mengangkangi aset BUMN lewat Perpres ini. Sungguh. Omnibus Law menyoal Cipta Lapangan Kerja (CILAKA) yang diduga akan sarat penindasan sistemik terhadap pekerja saja belum usai, lalu kini muncul lagi kekacauan baru yang dihadiahkan oleh tubuh presiden kepada rakyat.

Hadirnya Perpres ini, adalah bunga-bunga dari mimpi siang bolong penguasa. Alih-alih menambah kas yang selama ini terus-terusan defisit berharap untung (surplus) justru kelak akan berakhir tragis dan buntung.

Berbicara tentang modal keluar dalam kandang kapitalisme, adalah pembicaraan para bandit di balik layar yang sedang berbisik-bisik meninjau keping-keping aset negara yang segera jadi miliknya.

Alih-alih perusahaan asing membantu modal negara, justru akan menjelma bagai rayap memakan tubuh batang pohon dari dalam.

Meski tubuh pertiwi tetap indah dari luar, jika sarinya sedang dihisap oleh berahi korporasi, maka tunggulah beberapa waktu. Kantung mata akan mengendor. Pipi dan tubuh moleknya akan menyusut kemudian anak bangsa akan jijik melihatnya. Sebab, rayap-rayap korporasi telah menghancurkannya dari dalam oleh sebab ulat-ulat yang mengaku anak kandung yang saleh, justru sungguh tak lebih dari sekadar parasit durhaka yang mematikan.

Selamat menonton drama di negeri dongeng ini. Untuk Sepasang Yang Melawan. Sebentar lagi generasi muda yang melawan akan tiba meski mereka tetap saja telat dan bumi pertiwi telah kering kerontang kehabisan serat karena dilahap oleh rayap-rayap kapitalisme.

Negeri tercinta akan tinggal kenangan. Setelah rayap-rayap itu terbang menyisakan wajah baru yakni, negara korporasi yang biadab (dibaca: diktator).

***

_Djisuk.

  • 6 Comments
Djisuk


Para pembaca yang budiman. In Syaa Allah., pada Ahad, 23 Februari 2020, Pecandu Aksara akan kembali mengadakan Workshop Literasi di kota Makassar yang bertempat di Pisang Goreng Nugget (PGN) Pettarani.

Pada workshop kali ini. Alhamdulillah saya mendapat undangan dari Pecandu Aksara untuk mengisi acara tersebut yakni bagaimana 'Cara Menulis Resensi Buku'.

Meski kegiatan ini terkesan klasik dan terus berulang menghiasi pojok-pojok ruang dan waktu yang terus bergerak ini. Namun demikian, saya tetap menganggap bahwa segala sesuatu yang pernah terjadi dan diulang pada waktu yang lain, maka sesuatu itu akan menjadi hal baru bagi orang-orang yang belum pernah berkenalan dengan sesuatu itu di waktu lampau.

Termasuk dalam dunia kepenulisan. Meski sudah banyak yang expert di bidang ini, akan tetapi, saya yakin setiap waktu pastilah banyak orang yang ingin menemui hal-hal baru menurutnya walau seperti yang saya katakan tadi, bagi orang yang sudah jago di bidang tersebut akan beranggapan bahwa ini biasa-biasa saja.

Tapi bagi orang yang baru menjumpai dunia tulis-menulis atau yang dikenal dengan istilah newbie (pemula), akan berkomentar bahwa ini pengalaman baru dan boleh jadi sungguh mengesankan. Setidaknya ada rasa bangga dalam dirinya sendiri yang tidak bisa dipahami oleh orang lain. Sebab, ini tentang rasa.

Maka, pesan yang ingin saya sampaikan adalah, tidak ada yang benar-benar tua dalam artian lain, bukan umurnya. Begitu pun sebaliknya. Tidak ada yang benar-benar baru, karena semua yang terjadi di alam semesta ini merupakan proses implementasi dari karya-karya sebelumnya di tempat lain dan lain waktu.

Setidaknya itu sudah pernah tercipta di realitas internal meski belum pernah tercipta di realitas eksternal.

Kadangkala seseorang menganggap sesuatu yang baru ditemuinya merupakan benda atau kondisi yang sangat eksklusif dan benar-benar spesial. Sementara menurut orang lain, apa yang dianggapnya baru oleh orang selain dirinya, justru menjadi sesuatu yang sudah lama menurut dirinya sendiri.

Maka, tidak ada yang benar-benar baru dan lama. Sebab di alam semesta ini, ada begitu banyak hal yang tetap susah ditebak. Maka sungguh benar kata pepatah. "Alam terkembang menjadi guru yang paling bijaksana..."--kalau tidak salah, penggalan kalimat ini saya dapat di buku Anak Rantau karya A. Fuadi salah seorang jurnalis dan penulis novel yang tergolong produktif di tanah air ini.

Dan pepatah lama ini juga saya persembahkan kembali meski saya tak tahu ini milik siapa. Tapi semoga Allah Yang Maha Esa memberi amal jariah padanya. "Setiap orang punya waktu, dan setiap waktu pasti punya orang." (Anonim).

Akhirnya, saya ingin menyampaikan. Jangan lupa datang di workshop yang diagendakan oleh Pecandu Aksara pada Ahad, 23 Februari 2020 di PGN Pettarani Kota Makassar.

"Kalau kalian bukan anak raja dan bukan anak ulama yang besar, maka menulislah." (Imam Al-Ghazali).

Mari membaca dan menulis demi perbaikan peradaban.
***
Note :
Pembaca yang tercinta. Silakan dibaca juga tulisan-tulisan saya yang lain di blog ini. gratis ji.
  • 0 Comments
Djisuk.



Kulihat ada secarik bahagia di hatimu lewat senyum tulus dari bibir mungilmu kemarin sore. 

Seperti hujan yang menderai-derai menuju lorong ceritamu menarik perhatianku hanya tertuju padamu.

Tak mengerti apakah bahagia itu hadir karena lembaran-lembaran sejarahmu yang lalu dan dahulu ia mengucuri jiwamu dengan cinta yang meriah, telah berhasil kamu buka kembali dan menyanyikannya untukku.

Tak ingin kucari tahu tentang apa dan mengapa engkau begitu manis di antara senyum dan tangis mulai berlomba dahului ungkapan hatimu lewat deraian birai bibir yang telah berhasil jadikanku tertegun kagum, sekagum- kagumnya.

Apakah yang harus kulakukan untuk segala hal yang sudah terang mata di segala indraku, memandangimu hanyalah bayang dirinya selimuti dekapanmu yang kudapatkan.

Bukan kamu, melainkan dia yang selalu terbayang. Sebab cirinya yang begitu khas hingga imajinasiku sekejap menjadi sangat dewasa, mampu mengenali dirinya sekali pun sepasang mataku belum pernah bertatap langsung tanpa sehelai tabir di antaranya.

Adalah dia yang lebih awal mengenalmu dan pula dia yang lebih dahulu mencuri hatimu dengan paksa, menyakitimu lewat peluknya yang kasar dan memakimu atas nama cinta bersama ungkapan sayang yang aneh. Dan kau tetap saja berdongeng tentangnya, tentang setia yang sama-sama kalian gendong di punggungmu.

Di saat engkau bercerita tentang hatimu yang telah tercabik-cabik, jiwa dan harapanmu telah dirobek-robek tanpa belas kasih sedikit pun darinya, tetap saja bukan narasi itu yang dapat kusimpan, melainkan kalimat-kalimat sendu seperti di saat engkau berbisik, “he is my first kiss. And I can’t forget the time when he kissed my lips.”

Sore menuju malam dan pagi pun sudah siap menjadi teman bermain bagi anak-anak jalanan yang telah mematahkan pulpennya.

Oh tidak!

Bukan anak-anak itu yang mematahkan pulpennya, melainkan sistem yang ditunggangi oleh rezimlah yang memaksa mereka dengan sangat dramatis untuk menggantung sepatu dan seragam sekolahnya, lalu merubah coretan kertas cakar ayamnya menjadi lembaran-lembaran pembungkus kacang di malam hari.

Seperti mereka dan kamu yang kau anggap merasa dipaksa, mereka dipaksa untuk meninggalkan bangku belajarnya tanpa protes, dan kau pun merasa direbut hatimu dengan paksa, namun kau malah menikmatinya.

Oh my God, permainan macam apa ini?

Haruskah aku hidup di antara mereka-mereka yang selalu menganggap dirinya tersakiti namun di lain sisi, ia pun turut menikmatinya. Ataukah aku yang harus pergi meninggalkan mereka dengan konsekuensi, bahwa akulah yang akan menanggung segala derita yang selama ini mereka ceritakan padaku?!

Please answer me!!!

Perasaanku mulai gusar, logikaku pun menjadi korban oleh deretan-deretan kata cinta yang memabukkan, namun sebenarnya ia hanyalah kalimat basi yang sebentar lagi jadi sampah.

Aku sering melihat para penguasa mengobral cintanya kepada rakyat. Mereka berkata, “aku adalah pemimpin dan aku adalah pelayan bagi kalian.”

Tetapi, di setiap sorot mataku memandang, mengapa hanya kebencian yang kudapatkan?mengapa hanya penderitaan yang kusaksikan?

Aku mulai mengerti, kalau cinta dan pelayanan yang ia maksud adalah penderitaan bagi rakyat.

Aku pun menyaksikan hal sama pada dirimu, pada kasihmu yang kau sebut adalah pengabdianmu. Ternyata yang kau maksud cinta adalah hasrat untuk membunuhku lewat senyummu yang masih malu, malu dan masih sembunyi di balik sayapmu yang sebentar lagi melangsungkan ritualnya sebagai persembahan kepada dewamu yang bajingan itu.

Dan kini, aku dapat mengurai satu definisi cinta di antara jutaan paradigma yang kusut. Bahwa cinta adalah seni menjemput kematian dengan senyuman.

.....................

Djisuk_


Instagram : @djisuk53


  • 0 Comments
Postingan Lama Beranda

About me

a


Djisuk

"Hobi Nulis dan Jalan-jalan.”


Follow Us

  • instagram
  • facebook
  • Twitter

Cari Blog Ini

Banner spot

Blogger Makassar

Komunitas Blogger Makassar, Anging Mammiri

instagram

Created By ThemeXpose | Distributed By Blogger

Back to top