Dekapan Cinta Dalam Jeruji Sosial (Sebuah Puisi, Karya Djisuk)

Djisuk.



Kulihat ada secarik bahagia di hatimu lewat senyum tulus dari bibir mungilmu kemarin sore. 

Seperti hujan yang menderai-derai menuju lorong ceritamu menarik perhatianku hanya tertuju padamu.

Tak mengerti apakah bahagia itu hadir karena lembaran-lembaran sejarahmu yang lalu dan dahulu ia mengucuri jiwamu dengan cinta yang meriah, telah berhasil kamu buka kembali dan menyanyikannya untukku.

Tak ingin kucari tahu tentang apa dan mengapa engkau begitu manis di antara senyum dan tangis mulai berlomba dahului ungkapan hatimu lewat deraian birai bibir yang telah berhasil jadikanku tertegun kagum, sekagum- kagumnya.

Apakah yang harus kulakukan untuk segala hal yang sudah terang mata di segala indraku, memandangimu hanyalah bayang dirinya selimuti dekapanmu yang kudapatkan.

Bukan kamu, melainkan dia yang selalu terbayang. Sebab cirinya yang begitu khas hingga imajinasiku sekejap menjadi sangat dewasa, mampu mengenali dirinya sekali pun sepasang mataku belum pernah bertatap langsung tanpa sehelai tabir di antaranya.

Adalah dia yang lebih awal mengenalmu dan pula dia yang lebih dahulu mencuri hatimu dengan paksa, menyakitimu lewat peluknya yang kasar dan memakimu atas nama cinta bersama ungkapan sayang yang aneh. Dan kau tetap saja berdongeng tentangnya, tentang setia yang sama-sama kalian gendong di punggungmu.

Di saat engkau bercerita tentang hatimu yang telah tercabik-cabik, jiwa dan harapanmu telah dirobek-robek tanpa belas kasih sedikit pun darinya, tetap saja bukan narasi itu yang dapat kusimpan, melainkan kalimat-kalimat sendu seperti di saat engkau berbisik, “he is my first kiss. And I can’t forget the time when he kissed my lips.”

Sore menuju malam dan pagi pun sudah siap menjadi teman bermain bagi anak-anak jalanan yang telah mematahkan pulpennya.

Oh tidak!

Bukan anak-anak itu yang mematahkan pulpennya, melainkan sistem yang ditunggangi oleh rezimlah yang memaksa mereka dengan sangat dramatis untuk menggantung sepatu dan seragam sekolahnya, lalu merubah coretan kertas cakar ayamnya menjadi lembaran-lembaran pembungkus kacang di malam hari.

Seperti mereka dan kamu yang kau anggap merasa dipaksa, mereka dipaksa untuk meninggalkan bangku belajarnya tanpa protes, dan kau pun merasa direbut hatimu dengan paksa, namun kau malah menikmatinya.

Oh my God, permainan macam apa ini?

Haruskah aku hidup di antara mereka-mereka yang selalu menganggap dirinya tersakiti namun di lain sisi, ia pun turut menikmatinya. Ataukah aku yang harus pergi meninggalkan mereka dengan konsekuensi, bahwa akulah yang akan menanggung segala derita yang selama ini mereka ceritakan padaku?!

Please answer me!!!

Perasaanku mulai gusar, logikaku pun menjadi korban oleh deretan-deretan kata cinta yang memabukkan, namun sebenarnya ia hanyalah kalimat basi yang sebentar lagi jadi sampah.

Aku sering melihat para penguasa mengobral cintanya kepada rakyat. Mereka berkata, “aku adalah pemimpin dan aku adalah pelayan bagi kalian.”

Tetapi, di setiap sorot mataku memandang, mengapa hanya kebencian yang kudapatkan?mengapa hanya penderitaan yang kusaksikan?

Aku mulai mengerti, kalau cinta dan pelayanan yang ia maksud adalah penderitaan bagi rakyat.

Aku pun menyaksikan hal sama pada dirimu, pada kasihmu yang kau sebut adalah pengabdianmu. Ternyata yang kau maksud cinta adalah hasrat untuk membunuhku lewat senyummu yang masih malu, malu dan masih sembunyi di balik sayapmu yang sebentar lagi melangsungkan ritualnya sebagai persembahan kepada dewamu yang bajingan itu.

Dan kini, aku dapat mengurai satu definisi cinta di antara jutaan paradigma yang kusut. Bahwa cinta adalah seni menjemput kematian dengan senyuman.

.....................

Djisuk_


Instagram : @djisuk53


You Might Also Like

0 komentar