Bidadari Dan Sebuah Hadiah Kecil, Sebuah Cerbung




Part 1
Bidadari PMS
Ini adalah malam Minggu. Dan aku hanya sibuk merebahkan diri di sofa ruang tamu milik Paman.

Pamanku segaris keturunan dengan Bapakku. Ia sangat baik karena bersedia memberiku tumpangan untuk tinggal di kota besar ini.

Tapi, bukan Paman yang akan menjadi topik ceritaku. Seperti yang kubilang tadi. Aku sedang merebahkan diri di sofa ruang tamu milik Pamanku. Dan di meja sana, terdapat satu kotak semi kaca, di dalamnya ada sekuntum bunga yang memiliki dua helai daun berwarna hijau tai kuda.

Mataku sempat kutolehkan sedikit ke kanan, "langit kota Makassar pasti sangat gelap," bibirku lirih mengekori pandaganku.

Meski posisi sofa ini dikelilingi oleh dinding yang menghalangi pandangan. Tapi, dari balik mata jendela, akhirnya aku dapat menebak, bahwa memang langit malam kota Makassar sedang gulita. Sebab, tak ada sedikit pun percikan senyum rembulan yang tersesat ke cendawan kaca jendela di sana.

Mataku kembali menyasar meja di mana sekuntum bunga itu teronggok cantik di atasnya. Meja ukir yang terbuat dari kayu jati pilihan, sekaligus menjadi rak buku-buku yang kubeli dari hasil jerih payahku sendiri selama ini—tak ada buku pinjaman, apalagi buku curian dengan motif meminjam sebentar lalu pura-pura lupa mengembalikan sambil berdoa agar pemiliknya nanti juga ikutan lupa pernah meminjamkan bukunya.

Karena bunga itu, aku akhirnya ingat pada sesuatu sekaligus menjadikanku diterjang rindu teramat dalam.

Beberapa bulan lalu saat aku pulang ke kampung—bukan kampung halamanku—aku menyempatkan singgah di sebuah kedai. Di sana aku bertemu dengan seorang penulis sekaligus menjual bunga kaktus yang masih bayi.

Saat itu, bunga kaktus sedang naik daun. Aku akhirnya memutuskan untuk membeli satu beserta pot mininya yang pas di genggaman—siapa juga yang mau beli kaktus tanpa ada potnya?

Maaf. Aku tak sedang membicarakan penulis itu. Melainkan bunga kaktusnya saja.

Setelah membayar. Aku menunggu beberapa menit hingga bunga pesananku selesai dibungkus. Sebab bunga itu akan menempuh jarak bersamaku melewati tiga kabupaten sebelum sampai ke kabupaten yang kutuju, yakni kabupaten Jeneponto—orang-orang mengenalnya dengan kota kuda dan kota lumbung garam. Meski sekarang sudah bertambah lagi, dikenal sebagai kota kincir angin (ini berlebihan sekaligus salah).
Kabupaten ini menyimpan banyak cerita menarik selama periode perjalanan manusia di muka bumi ini. Tapi, legenda-legenda tentang Jeneponto, akan kuceritakan lain kali saja.

Di perjalanan, rasa khawatir di dadaku sungguh sangat mengganggu konsentrasiku mengendarai motor matic Honda Beat ini. Meski aku laki-laki, tapi aku tetap saja manusia yang punya rasa khawatir sejak awal penciptaanku. "Semoga bunganya aman di dalam kotak," gumamku setiap kali melewati aspal berlubang yang merusak kendaraan sekaligus salah satu penyebab terjadinya banyak kecelakaan. "Dasar, pejabat tak berguna. Saat momen kampanye saja mereka sibuk mengumbar janji sampai mulutnya berbusa-busa. Katanya akan mengakomodir seluruh keluh kesah rakyat, tapi buktinya? Ah. Sudahlah."

Aku menggerung geram saat motor yang kukendarai masuk ke dalam lubang dan menghasilkan suara debam yang hebat sekaligus retakan di badan kendaraanku. Motorku rusak parah. Lampunya mati seketika, termasuk rumahnya ikutan jadi korban. Tulang penyanggahnya patah. Akhirnya setiap laju kendaraan ini menghasilkan suara-suara lucu di sana sekaligus memancing emosi: pertama, lucu karena suaranya seperti kalung kerbau yang gemeletuk saat penggembala kerbau, sapi dan kambing mengarak gembalaannya menuju tanah lapang di lembah-lembah. Kedua, aku mulai cemas karena akan merogoh lagi uang tabunganku yang susah payah kudapatkan demi membayar perbaikan di bengkel. “Apakah para pejabat itu tak pernah lewat di jalan raya ini? Sehingga mereka tak tahu kalau jalan raya kabupatennya penuh dengan lubang-lubang aspal yang dapat membahayakan nyawa pengguna jalan?” Aku mendengus sebal.

Hidup di sistem gila semacam ini, memang kita harus kuat bertahan di antara kewarasan dan kebodohan yang serakah. Waras jika berdiri tegar menantang penindasan, tapi bodoh jika berdiam diri melihat kesewenang-wenangan penguasa berbual sana sini, hanya manggut-manggut menyaksikan pejabat yang kerjanya menggarong uang rakyat tanpa memerlukan lagi neraca pahala dan dosa di setiap perbuatannya. Padahal Pancasila begitu sarat dengan seruan agar perbuatan disandarkan pada neraca pahala dan dosa di rukun pertamanya—Ketuhanan Yang Maha Esa—maka segala perbuatan yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa tersebut, tidaklah sesuai dengan Pancasila dan kebudayaan Indonesia.

Tanganku lincah menyelamatkan kotak kaktus yang hendak terpental dari dalam saku daypack milikku. Aku teramat khawatir jika saja kaktus itu sampai jatuh. Bukan karena harganya, melainkan karena jarak dari tempatku membeli bunga itu yang sudah terlampau jauh. Apalagi tulisan khusus yang sudah kupesan di dalam kotaknya, sungguh tak dapat dibayar dengan rupiah—apalagi jika rupiahnya hanyalah hasil menggarong di kas negara.
Bila kuingat kembali, untuk menyelesaikan tulisan yang ada dalam kotak ini, setidaknya aku butuh waktu dua malam satu hari agar dapat merampungkannya. Aku yakin, mungkin setiap penulis, atau bahkan setiap orang juga sepakat bahwa kadangkala, menulis narasi yang singkat padat dan jelas yang dapat mewakili semua apa yang ingin disampaikan kepada seseorang, yang mungkin saja bila dituliskan semuanya tak akan muat bila hanya dituang dalam puluhan lembar kertas saja, adalah sebuah pekerjaan yang terbilang sulit dan menyakitkan. Bahkan jika itu dilakukan dengan penuh rasa cinta dan bangga.

Ada beberapa alasan yang membuatnya terkesan menyakitkan. Sayangnya, narasi di atas sudah terlampau panjang. Sehingga, mungkin akan di jelaskan di cerita-cerita lainnya saja.

***

Akhirnya aku sudah berdiri di depan pintu rumah setelah puas berkelit-kelit dengan lubang-lubang biadab jalan raya itu. Rumah di mana beberapa bulan silam, masih sangat asing dan sungguh membuat keberanian seorang lelaki menjadi terguncang.

Akan tetapi, aku tak pernah lupa dengan filosofi sunflower. Jika beberapa orang cenderung menghindari tekanan serta guncangan, maka bunga yang satu ini justru sebaliknya. Ia malah sangat membutuhkan tekanan serta guncangan dari dalam tanah agar kembangnya dapat mekar yang akhirnya menjadi indah dan memesona di pandangan.

Bagi seorang lelaki, tekanan itu perlu agar kejantanannya dapat terpicu lalu menjelmalah sebagaimana Ar-Rahman yang bersemayam dalam dirinya. Termasuk, boleh jadi seorang lelaki yang terlalu dominan sifat Ar-Rahim dalam dirinya sehingga ia berpesona bak perawan istana yang salah tempat membuka auratnya, pun juga membutuhkan tekanan agar dapat menunjukkan jati dirinya. Setidaknya, suara aslinya dapat nampak di saat dirinya sedang marah.

Kakiku telah sampai tepat di hadapan daun pintu sang Kekasih. Malam itu, angin berdesau teramat pelan, kejora beserta rembulan mengintip dari balik awan putih yang berarak sangat tipis di atas sana, sehingga bias cahayanya yang anggun hinggap tepat di wajah Kekasihku yang telah berdiri sama anggunnya dengan cahaya rembulan dan kejora itu. "Sungguh, ini pemandangan yang teramat impresif," lirihku sembari menenangkan degupan dada yang berirama bagai genderang perang di sumur Badar.

Lihatlah. Tatapan matanya yang cemerlang, membuatnya bagai bidadari yang sengaja membolos dari surga. "Astaga. Apakah dalam surga tak ada sistem penjagaan yang ketat?" Separuh hatiku mengaduh dan separuhnya lagi dipenuhi rasa syukur yang tak terbilang.

Suara burung belatuk di atas pokok kelapa samping kiri rumah panggung, tanpa permisi mengisi kegamangan antara aku dan Kekasih yang kuduga adalah bidadari surga yang sedang membolos pada malam ini.

Kalimatnya mulai menyambut kedatanganku setelah tahu, aku bagai manekin yang diantar cuma-cuma oleh kurir yang entah dikirim oleh siapa kepadanya. "Sudah sampai?" Tanyanya. Aku tahu itu hanya basa-basi ringan sebagai bahan untuk menenangkan dirinya yang terus-terusan bergetar sejak membukakan pintu untukku. Termasuk suara yang menyambutku itu pun ikut bergetar.

Saat itulah, aku juga baru tahu, bahkan bidadari pun pandai merasa gugup dan gagap menghadapi kondisi yang sifatnya tiba-tiba. Kupikir hanya pemimpin negara yang kurang bacaan sajalah punya patogenik yang pandai bersikap gugup dan cenderung gagap menanggapi kasus-kasus baru kenegaraan. "Astaga. Ternyata bidari pun demikian."

Napasku memburu. Secepat rumus cahaya aku membenahi kegamanganku. Aku masih dalam keadaan terkagum-kagum, sejurus dengan itu aku mencari klarifikasi dalam kepalaku tentang bidadari yang sedang membolos ini. "... Bidadari hanya ada di surga, dan surga hanya dapat dijumpai setelah kematian." Kesimpulanku hampir rampung. "Tunggu. Kalau bidadari hanya ada di surga dan setelah kematian... Apakah aku sudah mati?" Sial, kesimpulanku masih terlalu cepat dan kacau.

"Sedang memikirkan apa?" Tanyanya. "Apa ada yang kelupaan?" Tanyanya lagi.

Aku masih tercenung sebentar sebelum kembali memastikan kondisiku yang gamang ini. "Apakah aku masih hidup?" Tanyaku.

Bidadari itu menyelidik ke bola mataku. Menatapku penuh prihatin. "Tentu saja kau masih hidup." Jawabnya.

"Maksud aku..."

"Maksudmu, aku ini orang mati? Mayat hidup? Kuntilanak? Atau makhluk astral?!" Sergahnya. "Atau jangan-jangan kau punya penyakit somnabulisme yang akut. Di saat kau masih tertidur lelap lalu tiba-tiba kau datang melamarku dan mengucapkan janji suci di hadapan penghulu dan orang tuaku. Padahal kau sebenarnya masih tertidur lelap." Ujarnya mantap bagai ada bara api yang meletup-letup di dalam tungku dadanya.

Bahkan rasa gemetar sebelumnya yang kuyakin itu manifestasi kegugupan bertemu denganku, kini semua telah berbalik seratus delapan puluh derajat. Bidadari yang semula teramat manis dan... aduh, tak bisa diwakili dengan kalimat apapun lagi, kini beralih bagai ibu-ibu pemilik indekos yang malam-malam datang menyalak menagih uang sewa.

Aku buru-buru memperbaiki kosa kataku. "Bukan, bukan itu maksudku." Ucapku penuh hati-hati.

"Lalu?!" Suaranya bergetar.

"Sejujurnya aku bingung..."

"Bicaralah yang jelas. Kau tentu bukan anak-anak ingusan lagi, bukan?!" Serganya dengan tatapan yang seolah ingin menerkamku.

Aku kontan bergidik lalu menelan ludah. Mengatur napas yang menderu kacau. Sial. Pikiranku tentang bidadari yang sedang membolos itu sudah sempurna lenyap. Aku sekarang berada dalam masalah besar. Masa iya, jauh-jauh aku dari kota Makassar menerobos kejamnya sesak polusi, pengap dan kemacetan yang sungguh-sungguh menguji kesabaran, melintasi tiga kabupaten sekaligus, melesat bersama kendaraan roda dua bagai kecepatan cahaya. Lantas aku hanya datang untuk menerima omelan dan tidur di luar kamar. "Astaga. Sungguh, aku juga baru tahu, kalau ternyata bidadari itu tak hanya bermata bening, menyejukkan pandangan serta senyuman manisnya yang hendak mencabut nyawa seketika dengan kebahagiaan." Aku menelan ludah. "Ternyata, bidadari pun pandai menyalak dan membuat kita resah di saat ia menyembunyikan tatapan kasihnya."
Aku setengah meracau, memaki diri sendiri. Bilang sangat bodoh membuat pertemuan yang mestinya menyenangkan disertai cakap-cakap ringan yang renyah penuh hikmah dan bahagianya pengantin baru di sepertiga malam hari. Tapi sekarang semua sudah kacau. Aku mendengus kesal pada diri sendiri.

Aku harus memperbaiki keadaan ini.

"Maksud aku..."

"Apa?"

"Jangan dipotong dulu kalimatku."

"Baik. Silakan." Balasnya datar.

"Maksud aku. Kalau aku memang masih hidup, kok bisa ada bidadari sedang berdiri di hadapanku sekarang?" Ucapku mantap disertai senyumanku yang paling manis.

Aku keliru. Ternyata, jika bidadari telah marah, tak ada yang bisa membuat ia berhenti kecuali kemauan dirinya sendiri.

"Halah. Gombalanmu. Itu adalah gombalan kolot sekaligus basa-basi yang paling basi." Ujarnya.

Wajahku pias, sekaligus kecut hati. "Ternyata, aku tipikal penggombal yang payah ya?" Ucapku lirih. Entah itu sebuah kalimat tanya yang butuh jawaban atau bukan. Lebih tepatnya hanya kalimat putus asa saja.

"Ya, benar. Dan bukan hanya itu saja. Kau juga seorang penghayal yang memprihatinkan sekaligus menyebalkan!!!" Tegasnya.

Astaga. Itu kalimat jelas menikam relungku yang paling dalam. Bahkan siapapun itu. Tapi, harus bagaimana lagi. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain berucap lirih dengan kalimat maaf paling tulus yang kupunya.

Aku juga bodoh. Tak mampu menyadari kondisi ini lebih awal. Rupanya sejak percakapan awal, Kekasihku ini tak sedang gugup atau apalah yang semisal dengan pemipin negara yang apa tadi? Suka gugup dan gagap sendiri mengatasi masalah kenegaraan. Ya. Itu.

Aku terdiam sebentar. Membiarkan angin malam yang berembus bebas menari-nari mempermainkan kerudung jingga miliknya yang menyerupai senja di kaki cakrawala setiap kali benda sebiji di atas langit itu pamit tenggelam ke bibir laut di barat sana.

Napasku mulai teratur. Tepatnya, kupaksa agar dapat teratur. Aku tahu aku sudah salah memulai percakapan ini. Di kepalaku, mungkin dia sedang PMS. Semua makhluk di bumi ini tahu persis bagaimana spesies yang satu ini jika sedang PMS—hanya orang-orang paling miskin literasi sajalah yang tak mengerti apa itu PMS dan bagaimana cara menyikapinya.

Mestinya. Aku sudah menyadari sejak tadi saat dia memulai percakapan tanpa mengikutkan kata “Sayang” di akhir kalimatnya sebagai kata ganti diriku yang menjadi lawan bicaranya. Mestinya aku sudah paham sejak di situ. “Astaga. Urusan ini pasti bakal rumit sekali.”

Baiklah. Aku lebih baik membuat pengakuan saja. Berterus terang dan lalu manut-manut saja di setiap apapun yang dia bilang. "Aku minta maaf. Aku tak tahu kalau semua basa-basiku itu bisa merusak suasana hatimu, suasana pertemuan kita yang semestinya ditingkahi senyum dan tawa yang meriah karena rindu telah bertemu setelah sekian lama lelah melipat jarak." Ucapku tanpa dipotong-potong lagi. Mungkin dia suka kalimat itu. "Aku sungguh minta maaf, jika kehadiranku merusak suasana damaimu." Aku menarik napas, lalu menelan ludah berupaya mengendalikan diri.

"Setelah pertikaian kecil tadi. Aku mulai menyadari fakta klasik. Bahwa semua kekacauan ini ada konsekuensinya. Aku tahu aku akan tidur di luar, tak dapat menikmati senyumanmu yang paling manis, dan juga jatah kopi paling sempurna dari racikanmu sendiri. Aku terpaksa kehilangan semua itu kali ini. Dan, aku tahu itu." Aku berhenti sejenak menggeser kakiku yang mulai kebas dan juga sengaja tak menggunakan diksi “Sayang” di setiap kalimatku.

Bidadari itu masih bergeming di depan bingkai pintu yang daunnya sudah terbuka sempurna. Mestinya, aku sudah melewati bingkai pintu itu sejak tadi. Celakanya, aku terlalu amatir untuk sebuah pertemuan manis dan memulai percakapan.

"Tapi tenang saja." Napasku memburu. Suaraku bergetar dan lidahku hendak kelu. Tapi, keputusan dan tekadku masih lebih kuat dari gangguan grogi macam apapun. "Tapi tenang saja, aku masih sanggup berkendara tiga atau lima jam lagi malam ini.” Aku mencoba tersenyum seolah tak ada keributan apa-apa saat ini. Aku tahu itu berat. Bahkan semua orang juga tahu itu. Tapi itulah pertahanan paling cepat yang kita punya di saat tersudutkan oleh kesalahan sendiri seperti ini. Ditambah, PMS sialan itu. Mengapa harus ada yang namanya PMS sih? Aku meracau dalam hati. “Tapi sebelum itu, tolong terimalah hadiah kecil ini dariku." Aku sudah merogoh saku daypack yang masih setia di punggungku. Setidaknya aku sudah terlatih hanya dihangatkan oleh gendongan ini selama bertahun-tahun tanpa Kekasih. "Setelah kau terima, aku akan balik lagi ke Makassar sekarang juga agar tak menambah beban hatimu." Ujarku dengan nada bergetar.

Meski Lelaki juga punya air mata, tapi tidak kali ini. Tak akan kubiarkan ia menembus pertahananku. Sial.

Kekasihku teramat serius menatap kotak yang sudah kusodorkan itu. Matanya memicing penasaran dengan tulisan kecil di sampul depan hadiah kecil itu. Untunglah dia mau menerimanya. Meski sebenarnya lebih kepada rasa penasaran saja dengan tulisan kecil itu dan bukan benar-benar karena empati.

Sementara dia masih sibuk membolak-balik kotak kecil itu, memperhatikan betul detailnya, aku sudah balik kanan menghidupkan mesin kendaraan. Ketika dia hendak membaca tulisan di sampul kotak itu aku sudah berada dua puluh meter darinya. Aku menarik tuas gasnya sekeras yang kubisa. Melesat cepat seperti semula yang menyerupai kecepatan cahaya.

Aku sudah jauh. Bahkan ketika ia sudah menyadari aku sudah tak ada lagi di hadapannya, lantaran sibuk membolak-balik kotak hadiah itu. Atau sedang sibuk mengeja tulisan kecil di sampulnya. Atau mungkin sekarang dia sudah membuka hadiahnya dan telah membaca isinya. Entahlah.

***
Bersambung...
Catatan Penting!
“Ini hanyalah cerita fiktif. Bila anda mendapati kebencian di hati setelah membaca cerpen ini, maka itu tandanya ada dua bagian penting yang perlu diketahui secara jelas di sini: pertama, itu merupakan kecamba-kecamba iri serta dengki di hati anda. Dan itu sungguh kasihan sekali. Kedua, jika benar itu terjadi, maka bodoh amat, karena kami tidak peduli. Dan in syaa Allah., kami baik-baik saja.”

Sampai jumpa di cerbung berikutnya. Dan terimakasih sedalam-dalamnya bagi anda yang telah bersedia menghabiskan waktunya untuk membaca cerbung ini.

Wassalamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

You Might Also Like

2 komentar