Puisi, 'Mata Sejarah'




Puisi
Mata Sejarah
(Djisuk)

Setengah perjalananku telah usai.

Aku merangsek dari jalur terjal tebing kebohongan, menyibak semak belukar kemiskinan, berharap dapat lari dari keterpurukan. Padahal, alam semesta sungguh tak pernah kekurangan pasokan kebahagiaan.
Aku meninggalkan segala jejak perjalananku sebelumnya, tepat di sudut-sudut mimpi akan janji kemenangan.

Teriakan arloji perjuangan terus berputar tak pernah melawan arah, mengekori gerak matahari, teriknya memantul di sekujur tubuhku, dan akhirnya menjelma bagai jelaga di tungku dapur revolusi yang terlupakan.

Waktu terus berputar, meninggalkan yang lamban di perseteruan manusia. Aku menyaksikan, betapa pengkhianatan akan selalu mendapatkan kursi empuk dan menguasai seluruh pelatuk, serta moncong senjata akan ikut kemana telunjuk si pengkhianat mengarahkannya. Lalu, Undang-undang pun ikut menyembah di kakinya.

Di masa-masa seperti ini, tak penting betul menjadi pintar, jujur dan tawakal agar dapat hidup enak. Sebab, menjadi orang goblok itu lebih mungkin menuai kesejahteraan daripada menjadi orang arif.

Orang goblok akan selalu mendapat keuntungan atas kegoblokannya, sementara orang-orang arif akan berakhir di tiang gantung, atau dengan moncong senjata menempel di jidatnya, bila mana ia terus berpikir dan lancang bersinggungan dengan kekuasaan yang hipokrit.

Aku kembali merangsek dari jalur terjal tebing kebohongan satu ke kebohongan lain, menyibak semak belukar kemiskinan di setiap langkah, berharap dapat lari dari keterpurukan yang sama. Padahal, alam semesta sungguh tak pernah kekurangan pasokan kebahagiaan.

Dari puncak-puncak ketinggian cakrawala, aku berdiri di atas bukit, menatap nanar ke sebuah lembah.

Di sana, pohon-pohon tak lagi bisa hidup damai, air bersih tak lagi dapat bertahan dengan kejernihannya. Binatang-binatang lucu tak lagi dapat dijumpai mata, keseimbangan ekosistem telah hancur. Sementara yang tersisa, hanya binatang-binatang jalang berdasi, pemuja kekayaan kikir lagi menindas.

Mereka bersemayam di dalam beton-beton penjulang langit, kokoh penampakannya, namun sebenarnya ia sangatlah rapuh. Sebagaimana berahi yang meledak-ledak, membuat empunya kalap oleh kenikmatan sementara, sebelum akhirnya terjun bebas terkulai lemas dan mati digilas waktu. Itu satu-satunya harapan bagi rakyat jelata yang tertindas.

Aku adalah mata sejarah yang menyaksikan setiap pergulatan dan perubahan.
Aku melihat naskah proklamasi dibacakan. Melihat soekarno dan Hatta digelandang oleh sekelompok pemuda ke Rengasdengklok. Melihat bagaimana wajah-wajah menggemaskan dan mengharukan meneriakkan kemerdekaan sembari mengepalkan tinju ke angkasa.

Aku juga menyaksikan bagaimana negeri ini diisi oleh kelompok-kelompok bajingan yang menipu kemerdekaan. Aku melihat bagaimana tanah air ini terancam kembali, kemudian diselamatkan oleh Dr. Syafruddin beserta kawanannya dan juga Jenderal Soedirman beserta prajuritnya.

Aku adalah mata sejarah.

Aku menyaksikan bagaimana para petinggi negeri ini berlomba-lomba mengemis kepercayaan kepada rakyat, sebelum akhirnya rakyat kembali ditikam dari belakang oleh kepercayaannya yang teramat polos.

Aku melihat bagaimana rezim di negeri ini berganti-ganti atas nama mimpi-mimpi celaka.

Orla berganti orba. Hingga sampai pada era Reformasi yang membuatku seolah berada jauh dari tebing terjal kebohongan dan semak belukar kemiskinan.

Ternyata aku salah. Reformasi semacam  itu, juga adalah fajar kemenangan yang palsu.

Aku kecewa.

Akhirnya, aku kembali terperangkap di jalur terjal tebing kebohongan dan berjuang menyibak belukar kemiskinan yang lebih ganas lagi.
Celakanya. Sekarang, aku telah buta. Mataku diambil paksa oleh pihak-pihak penipu, lalu digunakan di sekolah-sekolah, di institusi-institusi, di mana saja rezim ini dapat mengibul.

Mataku digunakan untuk melihat dari sudut pandang nafsu kekuasaannya, kemudian memaksa sejarawan nulis sejarah palsu di bawah tekanan moncong senjata dan kepentingan pemodal yang siap menghisap darah perawan ibu pertiwi.

Aku terjerembab pada sistem yang kacau ini. Dan aku mata sejarah, sudah tak bisa bersejarah apa-apa. Cara pandangku, tergantung dari siapa yang berkuasa.

Jeneponto, 13 April 2020.


You Might Also Like

0 komentar